Rabu, 14 Agustus 2013

Pintu maaf mematahkan sandiwara dunia

Suatu pagi yang penuh dengan suara riuh yang membuncah hingga terasa meledaknya pendengaran telinga bagai suara gong di pementasan seni tari.
Disini bukan lah tentang gong atau pun apalah yang berhubungan dengan hirup pikuk keributan suara. Namun tepatnya suara. Suara yang berasal dari kamar tidur tetangga, tidak lah jauh hanya di batasi oleh papan kayu dan deretan poster. Bukan pertama kalinya aku mendengar suara keributan ini. Sering. Dan apabila di jadwal dapat terdengar 3 kali dalam sebulan bahkan bisa lebih.
Semua pasti menebak bukan? Ya. Polusi suara pagi-pagi seperti itu bersumber dari kamar kakak kandungku dan suaminya yang tak lama ini banyak mengalami goncangan dalam hidup berumah tangga. Aku tak mengerti memang begitu kah kehidupan berumah tangga? Awalnya saja manis. Dan setelah itu buyar dan membosankan. Maybe.

Aku bangun dari tempat tidurku. Sebenarnya malas dan ingin sekali berbaring lama dan memanjakan hasrat ku. Setidaknya itu tidak bisa di lakukan sekarang. Tidak ada yang dapat tidur tenang karena mendengar gegap gempita suara pasangan sehidup semati ini. 
Aku pun keluar dari surga persembunyian paling aman dari dunia fana ini. Dunia yang penuh sandiwara. Hanya menawarkan kemanisan di awal pertemuan dan menyisakan kepahitan dan luka di akhir cerita lalu menghilang entah kapan akan kembali. Hanya janji sementara. Tidak abadi. Dengan begitu, entah mengapa rasanya benci dengan janji-janji yang dunia tawarkan. Keras.

KITA CERAI SAJA!!
Ini adalah polusi suara yang paling kejam yang pernah aku dengar selama delapan bulan tinggal dengar saudara kandung ku ini. Dan rasanyaa... entahlah. Campur aduk. Aku yang masih muda harus mendengar hasrat dan aba-aba perceraian. Sangat tidaklah etis. Perkataan adalah doa, tidaklah harus di pikir terlebih dahulu?

"Ka. Ngomong apaan coba?"
Kakak ku tersebut menangis tersedan-sedan dengan nafas naik turun.
"Tak bisa kah di maafkan dan di demokrasi kan dengan cara yang lebih etis?" sambungku
AHH. Sudahlah aku tak mengerti masalah orangtua. Tepatnya berumah tangga. Aku memang masih kekanak-kanakan, bagi orang dewasa anak-anak tetaplah anak-anak. Tidak berpengalaman. Yah, itulah sebutan mereka untuk kami (anak-anak).

-Seminggu Kemudian-

Saudara laki-laki ku tepatnya kakak ipar. Datang dengan muka kusut dan penampilan yang tidak terurus. Entah apa yang ada dalam benaknya? aku memandangnya dengan belas kasihan namun adapula rasa benci karena selama seminggu ini meninggalkan saudara ku tepanya istrinya begitu saja.

"Kemana aja selama ini mas?"
"Mas. Mendinginkan pikiran dan mencari celah terang dari masalah ini, dek"
"Ok. Dan sekarang telah kembali. Apa sudah menemukan titik terang mu?" Sedikit mengangkat alis.
"Mana kakak mu?"
"HAH? Di kamar. Mungkin" Nyengir ngga jelas. Ini orang malah mengalihkan pembicaraan.

Mas Bayu ke kamar menghampiri Ka Ine.

"Sayangg"
Ku dengar tidak ada balasan dari Ka Ine. Mungkin ia memang masih merajuk karena masalah kecemburuannya dengan sekretaris Mas Bayu hingga tak ada maaf dan mungkin hatinya mulai mengeras di ikuti pikirannya yang membeku.

"Baiklah, aku tahu kamu masih marah dan menyimpan dendam dalam benak dan hatimu. Tetapi semua itu di luar pikiran dan kenyataan yang ada sayang. Aku mohon sedikitnya pengertianmu. Aku pergi kemaren karena tidak ingin ini semakin menbesar. Bukan karna aku tak memperdulikanmu. Justru itu karena kepedulian ku dan tak ingin kau semudah itu saja mengucapkan kata perceraian. Aku tak ingin. Mohon maafkanlah... Ini aku sekarang. Merendah dan berserah kepadamu."

"Jadi semua itu?"

"Hei. kamu salah sangka!! jangan jadikan kecemburuanmu sebagai senandung dendam dan penyesalan nantinya. Kamu mengerti maksud ku? Maukah kau memaafkan ku? Meskipun itu semua di luar akal sehat mu saja. Hahaha" Tawa renyah Mas Bayu

"Iya. Aku yang seharusnya minta maaf dan maafkan aku, Mas. Aku yang salah dan hampir saja membawa kita ke gerbang maut" jawab Kak Ine dengan penyesalan

Dan akhirnya di akhiri dengan pelukan hangat.
Lega dan tenang melihatnya. Mereka sudah baikan dan ku harap tidak ada lagi kesalahpahaman ini lagi. Dan setidaknya aku mendapatkan bonus tidur nyenyak tanpa mendengar polusi suara lagi.

"AKHIRNYA..." Tersenyum lebar 
"Terimakasih Tuhan pintu maafMu akhirnya mengalir di pasangan sehidup semati dengan ikatan cinta ini. Ku harap selamanya".




Senin, 12 Agustus 2013

Jalan Persimpangan

Siang-siang begini rasanya ingin sekali menulis segala hal yang ku alami hari, minggu bahkan bisa disebut bulanan ini terjadi banyak hal. Banyak cerita. Bervariasi. Tentangku. Hati. Perasaan. One more about everything.

Kisah awalku bermula dimana kita sebagai manusia. Sosok paling sempurna yang di ciptakan dari mahakarya yang tak ternilai kekayaannya.
Ia pun mengkaryakan hidupku. Dalam kisah ini aku sebagai tokoh utamanya. Menyadari adanya jalan yang harus di lewati, didiamkan, di hindari bahkan disimpangkan.
Begitulah gejolaknya bagaikan grafik kehidupan yang naik turun dan ada saatnyaa mendatar hingga datar sampai bagian paling bawah.

Tidak hanya kisahku. Ada lagi seseorang. Seseorang yang bisa di bilang mampu membuatku untuk berhenti, melaju, pelan-pelan, hingga terkadang membuat ku jatuh. Dan akhirnya bangkit lagi seperti sekarang. Selalu begitu... entah harus disebut apa??
Tidak hanya itu. Ia membuat segala nya semakin menjadi hingga aku sampai pada satu titik di ujung. Dimana di sana adalah ujung dari segala sesuatu kemuakanku, kemarahan, keterpurukan hingga jatuuhh sangat dalam bagaikan dalam pusaran ombak yang mengakibatkan ku akan terarus kedalamnya. Kedalam pusarannyaa. Aku mencari wajah itu untuk menolongku. Menyentuh dan menggengan erat tanganku agar aku tidak terbawa arus. Tetapi...

Entahlah. Dimana dia? Dimana sosok itu? LENYAP!! HILANG. PERGI.
Aku berteriak tetapi ia malah menutup gendang telinganya sekeras mungkin hingga suara rintihan itu tidak lagi terdengar. Lalu lari sekencangnyaa agar tidak dapat lagi menatap. Menghilang dan pergi. Lenyap dan entah kapan akan kembali? Apa mungkin ia akan kembali setelah perlakuannya itu?
Kisahnya sangat rumit. Di campuraduk pula dengan kisah konyoll ku. Seseorang yang berada di persimpangan tanpa tau akan berjalan kemana. Kadang berjalan terus tanpa menegok kebelakang. Kadang ragu untuk maju dan menegok kebelakang. Terhenti. Lalu merunduk keletihan hingga sampai pada saatnya terbawa arus pusaran ombak.
Lalu ia malah pergi. Meninggalkan sosok itu sendirian? dengan menikmati ketenggalam tanpa ada tanda-tanda kehidupan.

Sebegitu teganya kah? 
Atas semua hal tersebut apa ia melupakan sesuatu yang begitu lazim di rasakan. IYA. LUPA??
Rasa. Perasaan. Kasih. Kenangan dan harus di sebut apa hal itu? 
Aku tak tahu. Tak mengerti. Kehilangan arah dan kendali. Seperti kuda tanpa pacu untuk di acu. Seperti itulah gambarannya.

Sekarang. Haruskah semua itu dilupakan?! Datang. Lalu pergi. Putih dan abu !